Sejarah Panjat Pinang
Panjat pinang selalu menjadi ajang yang sering di lombakan setiap perayaan hari ulang tahun kemerdekaan di beberapa tempat di Indonesia. Banyak menarik perhatian banyak orang dan sering diikuti dengan antusias baik pria wanita walau sekedar meramaikan saja. Sebenarnya bagaimana awal mula panjat pinang ini sampai ada dan begitu dikenal? Menarik untuk dibahas karena ternyata panjat pinang merupakan warisan kolonial di masa lalu.
Kemeriahan Pagelaran Panjat Pinang (credit image : Antara Foto/Rahmad) |
Saat ini, panjat pinang menjadi hiburan tersendiri karena dijadikan lomba dalam perayaan memperingati hari kemerdekaan. Kegiatan ini sangat meriah karena akan ada banyak penonton yang akan hadir menyaksikan. Hadiah-hadiah yang ditawarkan saat inipun sudah semakin menarik karena di beberapa tempat hadiah bisa berupa sepeda atau bahkan handphone, pakaian dan lainnya yang menarik untuk diperebutkan.
Awal Mula Panjat Pinang di Indonesia
Menurut Rinto Jiang dalam artikelnya pada laman Forum Budaya dan Sejarah Tionghoa, mendeskripsikan bahwa panjat pinang ini mempunyai kesamaan dengan pagelaran di Tionghoa yang disebut qiang-gu. Populer pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644) serta tahun 1644-1911 pada era Dinasti Qing. Oleh kerajaan akhirnya dihentikan segala pagelaran atau kegiatan ini karena banyaknya kejadian tidak mengenakan yang terjadi seperti terjatuh dengan akibat yang serius.
Panjat Pinang pada masa kolonialisme |
Dari berbagai sumber yang ada, panjat pinang di Indonesia pada awalnya dilaksanakan pada era Kolonial Belanda. Pada tahun 1920an, panjat pinang yang disebut juga de Klimmast ini sering dilaksanakan pada saat merayakan hari ulang tahun ratu. Dan pada kesempatan lainnya dilaksanakan saat ada acara perkawinan, hari ulang tahun dan acara lainnya dari warga atau pejabat pemerintah kolonial. Oleh pemerintahan kolonial pada waktu itu, panjat pinang dijadikan iven atau perlombaan memperebutkan beberapa hadiah yang di gantung di ujung pinang.
Adapun hadiah-hadiah pada waktu itu adalah berupa bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari, bisa berupa bahan makanan, pakaian ataupun segepok uang yang di gantung di ujung pinang. Bagi masyarakat pada waktu itu, ikut dalam lomba ini akang sangat berarti karena susahnya kebutuhan makanan dan pakaian serta menariknya hadiah uang sehingga antusias untuk ikut serta. Yang berhasil meraih/merebut hadiah berarti berkeberuntungan mendapatkannya.
Gambaran perlombaan pada masa lalu (foto : KITLV LEIDEN) |
Warisan Simbol Kolonialisme
Hal menarik untuk diketahui bahwa, sebenarnya panjat pinang merupakan warisan kolonial yang berupa wujud kolonialisme / penjajahan itu sendiri. Panjat pinang menjadi ajang olok-olok warga penjajah karena para peserta adalah rakyat pribumi dan mereka hanya penonton. Warga pribumi yang saling memperebutkan hadiah dengan saling injak-menginjak digambarkan sebagai masyarakat miskin berebut barang bernilai tinggi.
Hal diatas menjadi pertunjukan dan tontonan menarik bagi kolonialisme, dimana kaum pribumi yang saling injak, terjatuh dan berbagai kesulitannya menjadi tertawaan dan hiburan bagi mereka. Pagelaran panjat pinang memang menjadi hiburn tersendiri pada waktu itu, tapi di sisi lain sebenarnya adalah bentuk hegemoni penjajahan terhadap harkat dan martabat pribumi. Anggapan pribumi sebagai masyarakat miskin terlihat dari iven memperebutkan hadiah yang sepele bagi kolonialisme.
Tidak bisa di pungkiri, meski merupakan warisan yang menjadi simbol penjajahan di masa lalu tapi bagaimanapun panjat pinang tetap ada hingga saat ini. Hal ini tak lepas dari maksud dan tujuannya yaitu menjadi hiburan semata dengan tawaran hadiah. Kegiatan ini secara positif dapat dipandang sebagai kegiatan dengan nilai mengutamakan kerjasama dalam mencapai tujuan.
Comments
Post a Comment