Waruga di Desa Sawangan, Minahasa Utara (foto : facebook.com) |
WARUGA : Bukti Peradaban Bangsa Minahasa Pada Masa Lalu
Waruga merupakan kubur batu yang menjadi artefak budaya peninggalan Suku Minahasa pada masa lalu di Sulawesi Utara. Bentuknya menyerupai kubus serta beratapkan menyerupai rumah dengan berukirkan / relief motif artistik.
Bagi masyarakat adat Minahasa, waruga memiliki nilai historis yang mengandung makna tentang asal usul serta perjuangan leluhur bangsa Minahasa. Hal mana waruga mengingatkan identitas, jatidiri dan sejarah kehidupan orang Minahasa dahulu kala.
Waruga di Kayawu, Tomohon |
Kini, kubur batu waruga telah dialihfungsikan yaitu sebagai warisan budaya yang pemanfaatannya untuk objek wisata dan situs cagar alam budaya Minahasa.
Definisi Waruga Dari Berbagai Sumber
Dalam beberapa versi sumber, waruga memiliki beberapa definisi diantaranya: secara etimologis waruga berasal dari kata 'wawa' yang artinya menyeluruh atau sepenuhnya. 'Ruga' yang secara harafiah diartikan 'pakaian usang atau juga dirusak dari bdan/tubuh'. Sehingga memberi makna waruga adalah 'tempat dimana tubuh itu larut. (“Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya” Denni Pinontoan, 2018).
Waruga Majoor Ngantung Palar di Tomohon (foto : adrianuskojongian.blogspot.com) |
Terkait asal namanya waruga yang berasal darikata 'moruga' artinya di rebus, hal ini merujuk pada jenazah yang diletakkan/dimakamkan pada waruga akan membengkak seperti direbus (Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016).
Versi yang lain, menilik kepercayaan suku Minahasa akan roh leluhur yang menjaga cucu mereka (puyun) dapat di ilhami sebagai wale dan roha, yakni tempat bersemayam roh (wale = rumah & roha = roh).
Dalam sebuah prosesi 'Mera Waruga' di Woloan-Tomohon, 19 April 2023 (facebook.com/rikson.karundeng) |
Eksistensi & Filosofi Waruga Bagi Masyarakat Adat Minahasa
Balai Arkeologi Sulawesi Utara pada tahun 2016 menyebutkan terdapat sebanyak 1859 buah waruga yang tersebar di tanah Minahasa diantaranya di Sawangan, Kuwil, Woloan, Popareng, dan berbagai tempat lainnya.
Antropolog memperkirakan bahwa waruga telah ada sejak abad ke 4 SM, dan mulai ditinggalkan penggunaannya pada abad ke 20 M.
Sekitar pertengahan tahun 1800-an, penggunaan waruga mulai dihentikan seiring dengan mewabahnya penyakit kolera tipes dan lainnya pada waktu itu. Dimana dianggap sebaran penyakit salah satunya berasal dari kondisi waruga yang masih menyisakan celah-celah udara.
Foto waruga di Sawangan, Minahasa Utara sekitar tahun 1930-1936 (wikipedia.com) |
Pun, meluasnya penyebaran ajaran agama Kristen yang mengharuskan jenasah untuk dikubur ditanah yang berakibat memberikan pengaruh terhadap tradisi penguburan orang Minahasa saat itu.
Secara historis sebaran waruga berawal dari Minahasa bagian Utara yaitu wilayah tanah etnis Tonsea yang kemudian perkembangannya ditemukan di tanah etnis Tolour (Minahasa), Tombulu (Tomohon dan sekitarnya), Tontemboan (Minahasa Selatan) dan Tombatu (Minahasa Tenggara).
Masyarakat adat Minahasa mempercayai bahwa kubur harus dibuat seperti rumah, sehingga waruga dibuat meniru halnya sebuah rumah. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan kesan kenyamanan bagi yang telah meninggal.
Dahulu, waruga dibuat di area sekitar perumahan penduduk atau pekarangan rumah. Pada tiap-tiap rumah penduduk biasanya terdapat waruga atau lebih. Perlu diketahui bahwa, waruga dapat berisi satu orang.
Waruga di Kokole, minahasa Utara () |
Pada waruga-waruga banyak ditemukan ornamen-ornamen yang unik dengan pola-pola ukir atau pahatan. Biasanya pola-pola ini menunjukkan kondisi status sosial dari yang dikuburkan semasa hidup. Terdapat pula waruga yang tidak memiliki hiasan atau ornamen, diyakini waruga ini telah berumur sangat tua.
Bagi masyarakat Minahasa, motif ornamen pada waruga menggambarkan pedoman hidup dan falsafah kehidupan bangsa Minahasa. Bukan hanya sekedar nilai estetikanya, tapi gambaran keyakinan masyarakat tentang kehidupan setelah kematian.
Relief-relief ini juga memberikan deskripsi bagaimana kepercayaan atau keyakinan yang pernah ada di Tanah Minahasa kepada Yang Maha Esa (Opo Empung).
Adapun filosofi yang terkandung pada artefak budaya Minahasa ini adalah 'sebagai manusia yang dilahirkan dengan posisi jongkok, maka begitu jugalah posisi manusia saat meninggal'. Kedudukan jenasah-jenasah yang ditempatkan pada waruga yaitu posisi kepala mencium bagian lutut, dimana tumit kaki dilipat kebelakang (posisi duduk).
Waruga Xaverius Dotulong di Kema, foto tahu awal 1900an |
Terkait filosofi diatas, dalam tradisi bangsa Minahasa pada masa lalu dikenal kepercayaan agama asli yaitu Malesung. Keyakinan / kepercayaan masyarakat adat Minahasa mengenal dan menganut kepercayaan kelahiran kembali.
Konsep kelahiran kembali ini dimaknai sebagai kelahiran di alam yang berbeda yaitu dari alam fana ke alam baka.
Waruga memberikan makna penghormatan kepada para leluhur. Sehingga, tidak mengherankan banyak ritual-ritual yang di laksanakan sebagai bentuk rasa hormat yang tak bisa dilepaskan dari Opo Empung dan para dotu-dotu / leluhur.
Salah satu ritual yaitu 'Mera Waruga'
Tradisi 'Mera Waruga'
Mera Waruga, 'mera' yang artinya memindahkan, dimana Mera Waruga merupakan prosesi memindahkan waruga (Kuburan pada masa Minahasa Kuno terbuat dari batu besar dengan ukiran dan atau relief kuno pada masa lampau peradaban Suku Minahasa).
Prosesi ini sering dilakukan dalam rangka memindahkan atau menyatukan waruga-waruga yang telah rusak atau hancur dan ditempatkan dalam satu tempat. Terkadang beberapa waruga ditemukan rusak karena dijarah.
Prosesi Mera Waruga di Woloan-Tomohon, 19 April 2023
Sudah menjadi tradisi bahwa pada waruga-waruga diletakkan juga benda-benda yang boleh disebut bekal kubur. Bekal kubur ini biasanya identik dengan barang milik yang bersangkutan semasa hidup.
Benda-benda ini bisa berupa santi / pedang, tombak, botol, piring, periuk atau bahkan panci. Secara ekonomis, benda-benda ini sangat berharga di masa lalu. Tak jarang, waruga rusak karena akibat penjarahan.
Prosesi Mera Waruga di Tatapaan Minahasa Selatan pada tahun 2011, oleh Komunitas Budaya 'Mawale Movement' dan 'Waraney Wuaya' (Sumber: charlieboysamola.wordpress.com)
Salah satu waruga yang disatukan kembali karena kerusakan |
Waruga pada gambar diatas merupakan waruga di Desa Popareng, Kec. Tatapaan-Minahasa Selatan yang mengalami kerusakan, dan dilakukan prosesi Mera Waruga.
Waruga memiliki nilai historis yang sangat tinggi bagi masyarakat Minahasa, karena merupakan bukti atau tanda perjalanan kehidupan para leluhur. Boleh dikatakan, tempat ini merupakan tempat dititipkannya jiwa para leluhur.
Begitulah waruga, telah menjadi kenangan dan warisan budaya nenek moyang bangsa Minahasa yang mengingatkan tentang nilai-nilai dan sejarah kehidupan leluhur Suku Minahasa. Nilai-nilai kebaikan yang telah ditanamkan para leluhur untuk sekiranya kita jaga, lestarikan dan perjuangkan eksistensinya.
Comments
Post a Comment